Mengapa Hidup harus Diuji?
Berhadapan dengan ujian, pertanyaan
‘mengapa’ adalah gugatan yang kadang bikin jengkel. Ya, kalau dipikir-pikir, mengapa
harus ada ujian (lagi)? Bukankah sejak manusia dilahirkan ke dunia, ia
sesungguhnya telah masuk ke dalam situasi itu? Lantas, kapan ia akan berakhir?
Berabad-abad yang lalu, lahir di Yunani
seorang pemikir besar, yang kini gagasannya menjadi corak pemikiran kita juga. Gagasan
tokoh ini membantu manusia menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan dalam kehidupan,
termasuk pertanyaan ‘mengapa ujian?’ Namanya
Socrates, guru dari Plato (kemudian, Plato menjadi guru Aristoteles).
Ia dikenal sebagai Bapak Filsafat Barat dan
terkenal karena metode dialektiknya (metode Socrates) yang digunakan untuk
menggali kebenaran melalui dialog dan pertanyaan. Pemikirannya berfokus pada
moralitas, pengetahuan dan keadilan. Dari Socrates, muncul adagium yang terus menggema
hingga kini, “hidup yang tidak diuji
tidak layak untuk dijalani-dihidupi”. Pandangan ini jugalah yang kemudian menjadi
dasar, mengapa hari ini terjadi ujian di SMP St. Klaus Kuwu. Kami perlu menyelidiki:
apakah kami layak 'hidup’ atau tidak?
Ujian: Lebih Luhur dari Sekadar Kertas dan Pena
Dengan memahami sedikit pemikiran Socrates,
kita dibawa kepada sebuah jawaban kecil: ujian bukan saja tentang menulis kembali
apa yang telah saya pelajari. Jauh lebih luhur, ujian di dalam dirinya sendiri adalah
sebuah ajakan moral supaya manusia mampu menemukan alasan serta memahami risiko
di balik setiap pilihan yang sejak awal ia tentukan. Tanpa ujian, manusia barangkali
tidak akan pernah tergerak untuk berpikir, bertindak dan mengevaluasi dengan baik!
Ujian lebih luhur dari sekadar pena yang menari-nari
di atas kertas, pun lebih sakral dari sekadar peringatan “harap tenang, sedang
ada ujian!’ Ujian sesungguhnya mengingatkan manusia, bahwa hidup tidak melulu
tentang pilihan, melainkan juga soal tanggung jawab. Ya, setiap pilihan, baik ataupun
buruk, perlu dipertanggungjawabkan.
Kepada siapa manusia harus bertanggung jawab?
Selain kepada orang lain, tentu saja manusia pertama-tama harus bertanggung jawab
terhadap diri sendiri! Ini penting, mengingat penerimaan terhadap diri sendiri lebih
mulia dari sekadar menanggapi pernyataan orang lain tentang diri ‘aku'. Bukankah
'tidak ada orang lain yang memahami diri
saya melebihi diri saya sendiri'?
Yang dulu Culun, sekarang menjadi Tekun
Seiring perjalanan waktu, kita kemudian memahami,
bahwa limit waktu di ruang ujian tidak berarti bahwa ‘ujian telah selesai'. Yang
terjadi justru sebaliknya. Suka atau tidak,
jawaban terhadap ujian hari ini adalah soal baru untuk hidup di hari esok. Demikian
seterusnya: jawaban selalu menciptakan pertanyaan baru, hasil-hasil pasti mendorong
usaha baru. Lingkaran tak berujung ini akan terus-menerus hinggap dalam ingatan
dan merongrong kenyamanan manusia. Ya, ujian seolah ingin bilang, “jangan lekas
berpuas diri”.
Hari ini kami telah mengakhiri ujian; memberi jawaban yang sekaligus menjadi pertanyaan baru untuk kami di hari esok. Tentu saja, kami belum puas, apalagi menang! Sebagaimana vita est militia, hidup adalah perjuangan, kami pun percaya, setiap perhentian adalah babak baru yang siap membawa kami menanjak. Maka, jangan berhenti, apalagi takut diuji, jangan pula berharap ini akan selesai. Bila ujian berakhir, bukankah berakhir pula kehidupan?
*(Bayu Anse)