Mulut komat-kamit. Mata terbelalak. Pandangan menuju langit-langit ruangan. Tangan mencoret-coret. Kepala digaruk-garuk dari bagian depan hingga belakang. Bahkan ada yang terbaring lemah di atas meja hingga air liur hampir membasahi lembar jawaban. Inilah pemandangan yang saya saksikan dari bangku pengawas saat ujian. Saya duduk tepat di depan kelas menyaksikan siksaan beberapa jam bagi siswa-siswa saya. Sungguh, bagi mereka yang tidak bisa menjawab soal, ini lebih dari sekedar salib hidup. Pemandangan ini pun menggugah saya menulis sharing ini.
Memang, saat musim ujian akan muncul banyak bentuk ekspresi tidak terduga. Diantaranya sudah saya sebutkan di atas. Tentunya ekspresi-ekspresi ini tidak dibuat-buat. Sangat jujur tanpa penipuan.
Terhitung mulai 17 Maret hingga 22 Maret 2025, SMP St. Klaus Kuwu tengah disibukkan dengan sumatif tengah semester. Betapa tidak, ruangan belajar di sekolah dan asrama dipadati kepala-kepala yang tengah berjuang menguasai materi. Tidak tanggung-tanggung, selama masa ujian, tidak ada waktu rekreasi. Semuanya dipakai untuk belajar. Memang mesti demikian. Untuk sesuatu hal baik, mesti ada pengorbanan.
Memaknai Waktu secara Eksistensial
Anak judul tulisan ini terdengar bombastis. Apalah daya saya tidak mempunyai kata lain untuk menggantikkannya. Karena itu saya akan menguraikan apa itu waktu eksistensial dan hubungannya dengan belajar dan ujian anak-anak kami di SMP St. Klaus Kuwu.
Martin Heidegger dan Henry Bergson adalah dua ahli terpandang dalam bidang filsafat. Kedua ahli ini berbeda pendapat tentang waktu. Bagi Bergson waktu dapat dipahami dalam durasi. Bahkan durasi adalah waktu itu sendiri. Misalkan, durasi 1 menit adalah 60 detik dan durasi 1 jam adalah 60 menit. Dengan durasi, waktu dapat diukur, dihitung dan diprediksi. Secara objektif, dengan demikian waktu itu terjadi luar manusia dan terpisah dengan manusia. Berbeda dengan Heidegger. Heidegger lebih melihat waktu secara lebih personal dan tak terpisahkan dengan manusia. Ia menyebut kelekatan dasein (sebutan khas Heidegger untuk manusia) dan waktu dengan istilah khas yaitu temporalitas. Memang ia tidak sepenuhnya menolak arti waktu sebagai durasi tetapi ia mengembangkan makna waktu lebih secara subjektif.
Apa maksudnya waktu eksistensial ala Heidegger? Bagi Heidegger pengalaman waktu eksistensial seringkali dijumpai sehari-hari. Kadang ketika sedang menonton video tik-tok, waktu 1 jam tidaklah ada apa-apanya. Namun ketika sedang mengantri, waktu satu jam serasa lebih lama dari biasanya. Lebih lama lagi kalau sedang antri sesuatu yang datangnya gratis atau cuma-cuma. Misalkan Cuma modal KTP dan sebagainya. Secara sederhana, itulah waktu eksistensial. Dua kejadian dengan durasi waktu yang sama tetapi terasa berbeda.
Waktu eksistensial dialami atau terjadi ketika manusia menyertakan unsur subjektif di dalam dirinya seperti perasaan, pikiran, dan lainnya. Dengan unsur subjektif ini, durasi waktu yang sama tetapi terasa berbeda. Bagi Heidegger waktu dan dasein tidak dapat terpisahkan. Maka, barangkali benar ungkapan orang, “Bagi orang yang menunggu dan ketakutan, waktu terasa sangat lama. Bagi orang yang bahagia, waktu terasa istimewa. Bagi orang yang dirasuki cinta, waktu terasa singkat”.
Durasi Ujian dan Durasi Belajar
Hari senin tanggal 17 Maret lalu, saya mengawas ujian Bahasa Indonesia di salah satu kelas. Seperti biasa, ujian Bahasa Indonesia selalu dengan teks yang panjang-panjang. Cerita, ilustrasi, gambar bahkan kata baku memenuhi soal-soal. Bahkan soal essay test pun tak luput dalam soal-soal itu. Seingat saya, jumlah halaman ujian Bahasa Indonesia waktu itu hampir 10 halaman. Bukan main, ekpresi-ekspresi yang saya sebutkan di atas tergambar diantara beberapa anak didik saya itu.
Ketika, hampir 15 menuju waktu selesainya ujian, saya memberikan informasi itu kepada mereka. Dengan ekspresi wajah yang serius saya menyampaikan berita tidak mengenakkan itu. Ekspresi dan gestur mereka berubah. Ada yang menjadi panik, marah-marah dan ada yang berkomentar dengan raut masam seperti ini, “eh, kenapa cepat sekali!”.
Mengapa cepat sekali? Bukankah durasi 2 jam adalah durasi yang pas untuk mengerjakan soal? Inilah waktu eksistensial. Para siswa saya tenggelam dalam waktu dan soal. Mereka tak lagi menyadari durasi waktu dua jam itu. Mereka terbawa suasana. Pikiran dan emosi mereka berbaur dengan waktu. Meski waktu 2 jam tidak cukup pas untuk mengerjakan ujian, kadangkala mereka selalu protes bila waktu belajar ditambah 15 hingga 30 menit. Padahal waktu belajar 1 jam adalah separuh durasi ujian yang mereka rasa kurang cukup itu. Mengapa saat jam belajar, waktu belajar 1 jam sangat lama dan waktu 2 jam tidaklah lama? Itulah waktu eksistensial. Itulah manusia. Itulah kisah kami, sang manusia yang sungguh menjadi manusia di St. Klaus Kuwu. (Fino Gesing)