Kakek
Anton tidak akan pernah peduli. Orang-orang dan anak-anaknya yang sudah
merantau di kota bilang kalau ia
sudah ketinggalan zaman. Ia tidak pernah menggubris walau bagi mereka menyadap
enau adalah pekerjaan yang sudah lapuk. Anaknya yang sulung, si Martinus selalu bilang
kalau di kota orang-orang sudah lupa tentang tuak. Ingatan-ingatan mereka sudah
diganti minuman-minuman mahal dari Eropa. Kilau dari botol-botol minuman itu
katanya jauh melampaui indahnya pelukan matahari pagi pada embun-embun di dahan
pohon tuak. Dan aromanya menyerupai wangi kembang tujuh para dara. Apalagi
rasanya merambat
sampai ke ujung-ujung kuku. Kakek
Anton tetap tegar hati. Satu-satunya yang menguatkan Kakek Anton adalah
orang-orang di kampung.
Semua perlengkapan tuak kakek Anton
masih saja awet sejak puluhan
tahun silam. Ya itu kira-kira dari hampir satu
dekade sebelum lengsernya Orde Baru. Malam hari sebelum menyadap ia sudah
menyiapkan perabot-perabot. Parang ia asah
di bawah
kepul hitam minyak lampu. Setiap malam ia
mengasah parang di sudut rumah papannya.
Itu seperti sebuah ritual. Remang-remang cahaya minyak lampu yang
kemerah-merahan dan asapnya yang hitam pekat menemani kesunyiannya tiap malam.
“Lopo,
mengapa harus tiap malam mengasah parang? Kan, bisa setiap dua kali seminggu?” tanya kau dari balik rindai kelambu menyela
ritual kakek Anton.
“Kau
takkan mengerti. Orang yang menyadari arti kehadiran adalah mereka yang tengah
merasakan kesepian. Aku tak ingin sepi nak. Selain agar tak cepat-cepat tidur,
ini rasanya seperti mengusir sepi” jawaban kakek Anton membuat kau tampak heran
dan bingung. Jawaban itu sangat tidak pas anak sesusiamu yang baru kelas 2 sekolah dasar.
Percakapan yang membingungkan itu menutup malam yang sunyi. Jerigen tuak telah
siap, parang dan penyaring apalagi. Kau tahu betul bahwa malam tidak akan
berlalu tanpa barang-barang ini di beranda rumah panggungmu.
***
“Lopo, sudah selesai membaca
kitab sucinya?”, pertanyaan yang hampir kau kicaukan tiap pagi hari. Kau tahu
kalau kakekmu hanya tamat sekolah dasar. Namun kakekmu adalah tukang tuak yang
suka membaca kitab suci. Kitab kesukaannya adalah buku kejadian buku yang paling
awal dari kitab suci itu. Pernah sekali ia bercerita kepadamu bahwa ia sungguh terpesona
bagaimana Tuhan menjadikan segala sesuatu. Walau isi kepala kepalanya
begitu-begitu saja tapi ia yakin kalau jenis kelamin pertama kali ditentukan
untuk dua mahakaryaNya yang agung yakni langit sebagai laki-laki dan bumi
sebagai perempuan. Kakek Anton dan orang-orang Manggarai menyebutnya Ame eta, Ine wa.
Itu semacam personifikasi dari Wujud Tertinggi. Dia percaya kalau sebelum
manusia dijadikan Tuhan membiarkan langit
dan bumi bersetubuh,
“...belum
timbul tumbuhan apapun di bumi sebab Tuhan belum menurunkan hujan dalam Kej.2:4. Itu yang ditulis buku Kejadian, nak” katanya dari
dalam ruang doa yang dibuat dari bilik-bilik bambu. Kata kakek Anton manusia minum dari benih
langit dan makan dari rahim bumi.
Hujan adalah benih laki-laki yang menyembur deras ke rahim bumi.
Dia dan orang-orang di kampung teramat yakin tuak adalah jelmaan air susu bumi.
Air tuak itu menyeruap dari balik payudara enau.
Begitulah
cerita Kakek Anton pada kau. Di sudut ruangan itu ia berceletuk “Kalau kau mau tahu
kelanjutan kisahnya, latihlah membaca. Nanti akan kakek ajarkan. Setelah kau
mahir, bukalah buku Kejadian”.
Ia
mengambil jerigen, parang, penyaring dan koli. Semburan asap koli
mengepul membumbung di langit-langit atap rumahmu. Kakek Anton hilang di balik
asap-asap itu. Ia menuju peraduannya. Menyadap enau sudah hukum alam dari
sononya harus dengan nenggo.
Dengan itu, urat-urat pohon enau
akan melemas, ia terbuai dengan lagu dan akhirnya menyemburkan air susu segar.
Menyadap enau harus dengan cinta. Kalau
pergi sambil membawa benci,
jerigen tidak akan penuh. Apalagi bila kau
habis bertengkar dengan istri,
mau sampai tikus berubah jadi burung
pun
ia takkan mau keluar. Menyadap enau tak harus pandai. Menyadap enau butuh hati
yang tulus.
***
Panas
matahari tak pernah mengalahkan kakek Anton. Ia memeluk pohon tuak itu rapat-rapat.
Ia lubangi beberapa sisi dan memasang sebilah bambu. Pada ujung bambu telah ia
tempatkan jerigen dan saringan. Tangan keriputnya mengambil sepotong kayu dan
memukul mesra batang tubuh pohon enau. Dibawah rimbun pohon enau ia melantunkan
nenggo dengan suara agak
serak basah. Titik demi titik air susu
itu mengalir. Perlahan titik-titik kemudian mengalir pelan tiada putus.
Tampaknya urat-urat pohon tuak melemas, ia terbuai. Hati kakek Anton memang
selalu bersih dan tulus. Ia makan dari benih langit dan minum dari rahim bumi.
Tiba-tiba
terdengar suara dari antara pohon jati menyerukan nama kakek Anton. Itu Om
Sebas tetangga kakek Anton.
“Lopo...
Lopo Anton nia ite e?”
Suara
itu mengagetkan kakek Anton yang tengah asyik-asiknya.
“Co’o
Sebas?” tanya kakek Anton dengan muka terheran-heran.
“Itu.... itu... Ende
Tina..” suara om Sebas terbata-bata “Jatuh
di kamar mandi. Cepat Lopo ia sudah tak sadarkan diri”
Kakek Anton tak bisa bernapas. Dunianya terasa terhenti.
Ia mengambil jerigen yang belum penuh terisi tuak. Ia berlari dengan mata
berkaca-kaca sembari mengingat wajah istrinya.
Senyumnya, tawanya, tangisnya, rasa kecupannya dan aroma tubuhnya. Ia berlari
sekencang-kencangnya tanpa memperhatikan jalan. Sesampainya di rumah ia mendapati kau sedang
penuh dengan air mata memeluk tubuh
nenekmu yang sudah tak bernyawa. Orang-orang di kampung menangisi kepergian
nenekmu. Memang sudah sejak lama nenek Tina jatuh sakit. Kata dukun di kampung, Nenek
Tina sakit pada perutnya sejak dua tahun yang lalu. Mulai waktu itu
memang dunia mulai pelan-pelan terhenti bagi kakek Anton. Selain karena Kakek Anton
mengalami kesulitan biaya untuk membawa nenek Tina ke kota, Nenek Tina juga enggan
mau ke kota. Bagaimana bisa ia membayar kalau harga sejerigen tuak cuma dua puluh
lima ribu rupiah. Itu pun kadang-kadang orang-orang di kampung datang untuk
sekadar minum dan pulang dengan mata berdarah karena mabuk. Penghasilan Kakek Anton tak sebanyak
dulu ketika permintaan tuak banyak
datang dari kota. Kalau ada acara-acara adat di kota biasanya mereka membayar
penuh kakek Anton dan tuaknya. Namun kini acara adat itu bukan lagi butuh tuak
melainkan sekarang bir bintang dan mungkin sebentar lagi digantikan
dengan wishkey dan rum. Orang di kota lebih suka air susu Eropa
dibandingkan dengan air susu tanahnya. Padahal acara adat yang dilakukan untuk
menghormati adat warisan leluhur yang hidup dari air susu tanah sendiri. Ketika
minuman-minuman itu sampai di meja para leluhur pasti mereka heran-heran dan bingung. Dari mana asalnya semua ini?
Barangkali mereka akan saling menatap satu sama lain dan bertanya apakah kita
pernah minum dan mewariskan minuman seperti ini pada mereka? Itu sebabnya
banyak bencana datang karena mereka masih haus dan terus meminta lewat
tanda-tanda alam. Yah, mungkin air susu baru mereka lebih menarik dan memikat
pesona mabuknya.
***
Para laki-laki dan tua
adat sedang membangun tenda di depan rumahmu. Kakek Anton tak berdaya. Ia tahu
nenekmu sudah tiada. Ia
pergi dari dunia menuju suatu ketiadaan yang abadi. Kakek Anton terbenam dalam lautan air mata
yang tiada putusnya.
Kepergian
nenek Tina diiringi isak tangis orang-orang di kampung juga keluarga serta
kerabat yang datang dari kampung-kampung tetangga. Mereka membawa beras, kain
adat juga uang untuk kakek Anton demi berlangsungnya upacara kematian. Babi
sudah sedari tadi disembelih dan asapnya memenuhi dapur belakang rumah. Suara
tangisan seperti nyanyian ratapan membahana tatakala anak sulung kakek Anton
dan nenek Tina datang dan langsung berdiri di tiang rumah. Berita kematian
ibunya sudah ia dengar dari pamanya
yang menelpon dan segera ia datang dari kota. Tangis Martinus menggelegar. Ia
memeluk dan mencium raga ibunya yang sudah tidak bernyawa. Ia menatap ayahnya
dengan tatapan amarah dan penuh kebencian.
Sejak
kedatangan Martinus dari kota ia tak pernah berbicara dengan ayahnya sampai
hari penguburan. Kau yang tak tahu apa-apa sudah pastinya terdiam walau kau yakin
ada api antara mereka. Setelah semua keluarga satu per satu meninggalkan
keluarga kakek Anton,
akhirnya api itu benar-benar membakar Martinus. Ia membanting semua
barang-barang di rumah. Kau pun lari ke sudut rumah dan bersembunyi dibawah
meja sambil membasuh pipi dan ingus yang bercampur baur. Martinus membanting jerigen
dan penyaring tuak, harta paling berharga kakek Anton setelah keluarga.
“Kematian
Ende itu semuanya gara-gara Ema. Saya sudah bilang berkali-kali Ema
harus ke kota karena Ende akan mau juga ke kota kalau Ema mau pindah. Tapi
apa? Ema tetap mau disini dan pergi
ambil tuak. Tuak itu sudah
mengotori pikiran Ema.”
Kakek
Anton tak bisa menjawab dan memang tidak boleh menjawab. Air mata itu membasahi
kulit wajahnya yang keriput. Martinus membuang muka. Kakek Anton mengambil
jerigen dan penyaring yang dibuang Martinus. Kau dan Martinus tahu kakek Anton
pergi menuju peraduannya. Entah mengapa hanya pohon tuak yang memahami kakek Anton.
Dan katanya hanya ia seorang diri yang juga benar-benar memahami pohon tuak.
***
Sudah
sejak siang tadi kakek Anton belum pulang-pulang. Biasanya jam lima sore ia
sudah pulang dan membawa tuak juga binatang hasil perangkapnya di kebun. Martinus dan orang-orang di Kampung bergegas
mencari Kakek Anton di kebun. Dari jauh mereka melihat asap dan kau yang
bersama mereka tahu itu pasti kakek Anton. Sesampainya disana kau, Martinus dan
orang-orang kampung terkejut. Kakek Anton membakar
semua pohon enau. Namun ia tak hanya membakar pohon-pohon enau itu tetapi juga membakar
dirinya bersama semua kesedihannya.
Daftar istilah
·
Lipa Songke: kain
adat manggarai
·
Lopo:
panggilan manggarai untuk orang yang sudah tua. Biasanya untuk usia diatas 60
tahun
·
Nenggo:
jenis lagu adat manggarai
·
Koli:
rokok tradisional orang manggarai dari tembakau dan daun lontar
·
Nia:
dimana
·
Ite:
panggilan sopan untuk orang lain
·
Ende:
mama
·
Ema :
bapa