Tukang Tuak yang Gemar Membaca Kitab Suci (Fr Fino)
  • Admin
  • 16 Agustus 2024
  • 43 x
PANTE TUAK


Kakek Anton tidak akan pernah peduli. Orang-orang dan anak-anaknya yang sudah merantau di kota bilang kalau ia sudah ketinggalan zaman. Ia tidak pernah menggubris walau bagi mereka menyadap enau adalah pekerjaan yang sudah lapuk. Anaknya yang sulung, si Martinus selalu bilang kalau di kota orang-orang sudah lupa tentang tuak. Ingatan-ingatan mereka sudah diganti minuman-minuman mahal dari Eropa. Kilau dari botol-botol minuman itu katanya jauh melampaui indahnya pelukan matahari pagi pada embun-embun di dahan pohon tuak. Dan aromanya menyerupai wangi kembang tujuh para dara. Apalagi rasanya merambat sampai ke ujung-ujung kuku. Kakek Anton tetap tegar hati. Satu-satunya yang menguatkan Kakek Anton adalah orang-orang di kampung.

            Semua perlengkapan tuak kakek Anton masih saja awet sejak puluhan tahun silam. Ya itu kira-kira dari hampir satu dekade sebelum lengsernya Orde Baru. Malam hari sebelum menyadap ia sudah menyiapkan perabot-perabot. Parang ia asah di bawah kepul hitam minyak lampu. Setiap malam ia  mengasah parang di sudut rumah papannya. Itu seperti sebuah ritual. Remang-remang cahaya minyak lampu yang kemerah-merahan dan asapnya yang hitam pekat menemani kesunyiannya tiap malam.

Lopo, mengapa harus tiap malam mengasah parang? Kan, bisa setiap dua kali seminggu?” tanya kau dari balik rindai kelambu menyela ritual kakek Anton.

“Kau takkan mengerti. Orang yang menyadari arti kehadiran adalah mereka yang tengah merasakan kesepian. Aku tak ingin sepi nak. Selain agar tak cepat-cepat tidur, ini rasanya seperti mengusir sepi” jawaban kakek Anton membuat kau tampak heran dan bingung. Jawaban itu sangat tidak pas  anak sesusiamu yang baru kelas 2 sekolah dasar. Percakapan yang membingungkan itu menutup malam yang sunyi. Jerigen tuak telah siap, parang dan penyaring apalagi. Kau tahu betul bahwa malam tidak akan berlalu tanpa barang-barang ini di beranda rumah panggungmu.

 

 

                                                            ***

            “Lopo, sudah selesai membaca kitab sucinya?”, pertanyaan yang hampir kau kicaukan tiap pagi hari. Kau tahu kalau kakekmu hanya tamat sekolah dasar. Namun kakekmu adalah tukang tuak yang suka membaca kitab suci. Kitab kesukaannya adalah buku kejadian buku yang paling awal dari kitab suci itu. Pernah sekali ia bercerita kepadamu bahwa ia sungguh terpesona bagaimana Tuhan menjadikan segala sesuatu. Walau isi kepala kepalanya begitu-begitu saja tapi ia yakin kalau jenis kelamin pertama kali ditentukan untuk dua mahakaryaNya yang agung yakni langit sebagai laki-laki dan bumi sebagai perempuan. Kakek Anton dan orang-orang Manggarai menyebutnya Ame eta, Ine wa. Itu semacam personifikasi dari Wujud  Tertinggi. Dia percaya kalau sebelum manusia dijadikan Tuhan membiarkan langit dan bumi bersetubuh,

“...belum timbul tumbuhan apapun di bumi sebab Tuhan belum menurunkan hujan dalam Kej.2:4. Itu yang ditulis buku Kejadian, nak” katanya dari dalam ruang doa yang dibuat dari bilik-bilik bambu.  Kata kakek Anton manusia minum dari benih langit dan makan dari rahim bumi. Hujan adalah benih laki-laki yang menyembur deras ke rahim bumi. Dia dan orang-orang di kampung teramat yakin tuak adalah jelmaan air susu bumi. Air tuak itu menyeruap dari balik payudara enau.

Begitulah cerita Kakek Anton pada kau. Di sudut ruangan itu ia berceletuk “Kalau kau mau tahu kelanjutan kisahnya, latihlah membaca. Nanti akan kakek ajarkan. Setelah kau mahir, bukalah buku Kejadian”.

 Ia mengambil jerigen, parang, penyaring dan koli. Semburan asap koli mengepul membumbung di langit-langit atap rumahmu. Kakek Anton hilang di balik asap-asap itu. Ia menuju peraduannya. Menyadap enau sudah hukum alam dari sononya harus dengan nenggo. Dengan itu, urat-urat pohon enau akan melemas, ia terbuai dengan lagu dan akhirnya menyemburkan air susu segar. Menyadap enau harus dengan cinta. Kalau  pergi sambil membawa benci, jerigen tidak akan penuh. Apalagi bila kau habis bertengkar dengan istri, mau sampai tikus berubah jadi burung pun ia takkan mau keluar. Menyadap enau tak harus pandai. Menyadap enau butuh hati yang tulus.

                                                ***

Panas matahari tak pernah mengalahkan kakek Anton. Ia memeluk pohon tuak itu rapat-rapat. Ia lubangi beberapa sisi dan memasang sebilah bambu. Pada ujung bambu telah ia tempatkan jerigen dan saringan. Tangan keriputnya mengambil sepotong kayu dan memukul mesra batang tubuh pohon enau. Dibawah rimbun pohon enau ia melantunkan nenggo dengan suara agak serak basah.  Titik demi titik air susu itu mengalir. Perlahan titik-titik kemudian mengalir pelan tiada putus. Tampaknya urat-urat pohon tuak melemas, ia terbuai. Hati kakek Anton memang selalu bersih dan tulus. Ia makan dari benih langit dan minum dari rahim bumi.

Tiba-tiba terdengar suara dari antara pohon jati menyerukan nama kakek Anton. Itu  Om Sebas tetangga kakek Anton.

Lopo... Lopo Anton nia ite e?”

Suara itu mengagetkan kakek Anton yang tengah asyik-asiknya.

Co’o Sebas?” tanya kakek Anton dengan muka terheran-heran.

Itu.... itu... Ende Tina..” suara om Sebas terbata-bata “Jatuh di kamar mandi. Cepat Lopo ia sudah tak sadarkan diri”

Kakek  Anton tak bisa bernapas. Dunianya terasa terhenti. Ia mengambil jerigen yang belum penuh terisi tuak. Ia berlari dengan mata berkaca-kaca sembari mengingat wajah istrinya. Senyumnya, tawanya, tangisnya, rasa kecupannya dan aroma tubuhnya. Ia berlari sekencang-kencangnya tanpa memperhatikan jalan.  Sesampainya di rumah ia mendapati kau sedang penuh dengan air mata memeluk  tubuh nenekmu yang sudah tak bernyawa. Orang-orang di kampung menangisi kepergian nenekmu. Memang sudah sejak lama nenek Tina jatuh sakit. Kata dukun di kampung, Nenek  Tina sakit pada perutnya sejak dua tahun yang lalu. Mulai waktu itu memang dunia mulai pelan-pelan terhenti bagi kakek Anton. Selain karena Kakek Anton mengalami kesulitan biaya untuk membawa nenek Tina ke kota, Nenek Tina juga enggan mau ke kota. Bagaimana bisa ia membayar kalau harga sejerigen tuak cuma dua puluh lima ribu rupiah. Itu pun  kadang-kadang orang-orang di kampung datang untuk sekadar minum dan pulang dengan mata berdarah karena mabuk. Penghasilan Kakek Anton tak sebanyak dulu  ketika permintaan tuak banyak datang dari kota. Kalau ada acara-acara adat di kota biasanya mereka membayar penuh kakek Anton dan tuaknya. Namun kini acara adat itu bukan lagi butuh tuak melainkan sekarang bir bintang dan mungkin sebentar lagi digantikan dengan wishkey dan rum. Orang di kota lebih suka air susu Eropa dibandingkan dengan air susu tanahnya. Padahal acara adat yang dilakukan untuk menghormati adat warisan leluhur yang hidup dari air susu tanah sendiri. Ketika minuman-minuman itu sampai di meja para leluhur pasti mereka heran-heran dan bingung. Dari mana asalnya semua ini? Barangkali mereka akan saling menatap satu sama lain dan bertanya apakah kita pernah minum dan mewariskan minuman seperti ini pada mereka? Itu sebabnya banyak bencana datang karena mereka masih haus dan terus meminta lewat tanda-tanda alam. Yah, mungkin air susu baru mereka lebih menarik dan memikat pesona mabuknya.

                                                ***

 

  Para laki-laki dan tua adat sedang membangun tenda di depan rumahmu. Kakek Anton tak berdaya. Ia tahu nenekmu sudah tiada. Ia pergi dari dunia menuju suatu ketiadaan yang abadi.  Kakek Anton terbenam dalam lautan air mata yang tiada putusnya.

Kepergian nenek Tina diiringi isak tangis orang-orang di kampung juga keluarga serta kerabat yang datang dari kampung-kampung tetangga. Mereka membawa beras, kain adat juga uang untuk kakek Anton demi berlangsungnya upacara kematian. Babi sudah sedari tadi disembelih dan asapnya memenuhi dapur belakang rumah. Suara tangisan seperti nyanyian ratapan membahana tatakala anak sulung kakek Anton dan nenek Tina datang dan langsung berdiri di tiang rumah. Berita kematian ibunya sudah ia dengar dari pamanya yang menelpon dan segera ia datang dari kota. Tangis Martinus menggelegar. Ia memeluk dan mencium raga ibunya yang sudah tidak bernyawa. Ia menatap ayahnya dengan tatapan amarah dan penuh kebencian.

Sejak kedatangan Martinus dari kota ia tak pernah berbicara dengan ayahnya sampai hari penguburan. Kau yang tak tahu apa-apa sudah pastinya terdiam walau kau yakin ada api antara mereka. Setelah semua keluarga satu per satu meninggalkan keluarga kakek Anton, akhirnya api itu benar-benar membakar Martinus. Ia membanting semua barang-barang di rumah. Kau pun lari ke sudut rumah dan bersembunyi dibawah meja sambil membasuh pipi dan ingus yang bercampur baur. Martinus membanting jerigen dan penyaring tuak, harta paling berharga kakek Anton setelah keluarga.

“Kematian Ende itu semuanya gara-gara Ema. Saya sudah bilang berkali-kali Ema harus ke kota karena Ende akan mau juga ke kota kalau Ema mau pindah. Tapi apa? Ema tetap mau disini dan pergi  ambil tuak.  Tuak itu sudah mengotori pikiran Ema.”

Kakek Anton tak bisa menjawab dan memang tidak boleh menjawab. Air mata itu membasahi kulit wajahnya yang keriput. Martinus membuang muka. Kakek Anton mengambil jerigen dan penyaring yang dibuang Martinus. Kau dan Martinus tahu kakek Anton pergi menuju peraduannya. Entah mengapa hanya pohon tuak yang memahami kakek Anton. Dan katanya hanya ia seorang diri yang juga benar-benar memahami pohon tuak.

                                                            ***

 

 

 

 

 

Sudah sejak siang tadi kakek Anton belum pulang-pulang. Biasanya jam lima sore ia sudah pulang dan membawa tuak juga binatang hasil perangkapnya di kebun.  Martinus dan orang-orang di Kampung bergegas mencari Kakek Anton di kebun. Dari jauh mereka melihat asap dan kau yang bersama mereka tahu itu pasti kakek Anton. Sesampainya disana kau, Martinus dan orang-orang kampung terkejut. Kakek Anton membakar semua pohon enau. Namun ia tak hanya membakar pohon-pohon enau itu tetapi juga membakar dirinya bersama semua kesedihannya.

 


Daftar istilah

·         Lipa Songke: kain adat manggarai

·         Lopo: panggilan manggarai untuk orang yang sudah tua. Biasanya untuk usia diatas 60 tahun

·         Nenggo: jenis lagu adat manggarai

·         Koli: rokok tradisional orang manggarai dari tembakau dan daun lontar

·         Nia: dimana

·         Ite: panggilan sopan untuk orang lain

·         Ende: mama

·         Ema : bapa


 

 


Berikan Komentar

Alamat Email anda tidak akan ditampilkan. Wajib diisi untuk kolom *