Belakangan ini, muncul
pelbagai obrolan menarik di kalangan penghuni Unit Asrama Kelas VII SMPK St.
Klaus Kuwu. Tema-tema lawas, seperti mempertanyakan “apa dan siapa itu alumni”,
sampai pada komentar receh, “yes, siap hang nuru ela kole ga”, kini
menjadi dua tema favorit di sela-sela kegiatan belajar anak-anak ‘bontot' ini..
Rupanya, tema ‘alumni dan
nuru ela’ yang mewarnai kebersamaan mereka ini tidak terlepas dari momen
akbar yang akan berlangsung pada bulan September yang akan datang, Pesta Family
SMPK St. Klaus Kuwu.
Ya, meski puncak perayaan
masih berselang satu bulan lagi, bayangan tentang kegembiraan kumpul-kumpul
bersama alumni dan gambaran keseruan makan nuru ela telah lebih dulu
memantik animo anak-anak asrama. “Pak, kami telah memulai obrolan nuru ela
sejak memasuki bulan Agustus kemarin”, tutur Alfin berapi-api. Karena nuru ela,
tanpa sadar, pria tampan yang kami juluki ‘Bocah Ajaib' dari Cibal ini telah memungut hampir lima kantung penuh
sampah plastik; tidak terhitung sampah organik. Sungguh, semangat anak ini
patut diacungi jempol!
Kami Siap menjadi Calon
Alumni yang Baik
Tidak jauh berbeda dengan
Alvin, kabar tentang kedatangan alumni beserta keseruan Pesta Family tampaknya
juga memberi semangat bagi anak-anak yang lain. Berbagai aksi sosial, seperti
pembenahan tempat pembuangan sampah, tata taman bunga, penggandaan pot,
pembersihan gorong-gorong, dijalankan dengan semangat yang membara dan penuh
sukacita. Tak jarang, mereka meminta tambahan waktu untuk bekerja.
Ketika ditanya, dengan
tegas anak-anak ini menjawab, “selain karena tahun Ekologi, sebetulnya kami mau
menjadi calon alumni yang baik, Pak! Kami juga ingin jadi kakak kelas yang
patut dicontohi oleh adik-adik yang akan masuk tahun depan.”
Ada lagi sebagian anak,
yang rada-rada bijak berkata, “kami ingin, supaya dua puluh tahun lagi, kami
bisa datang lagi, menyaksikan bunga-bunga dan pohon-pohon yang kami tanam di
tempat ini”. Jawaban-jawaban spontan mereka sama sekali tidak pernah terlintas dalam
benak saya.
Anak-anak ini ternyata
menyimpan mimpi besar nan mulia. Mendengar mimpi mereka, muncul kebanggaan
sekaligus perasaan iri dalam diri saya. Mimpi seperti ini tidak pernah hidup
dalam pikiran saya dulu. Tampaknya, tidaklah berlebihan apabila saya menyebut:
mimpi ini terbilang terlalu cepat untuk anak-anak seusia mereka!
Sisi Lain Tugas Pembinaan
Sejak pertama kali
ditugaskan menjadi pembina di tempat ini, saya dan teman-teman pembina lebih
nyaman disebut sebagai pendamping; bukan pembina. Suatu sebutan yang berupaya
menyamakan persepsi di antara kami dan anak-anak, bahwa toh kami sebetulnya
adalah sekumpulan manusia yang sedang berada dalam proses yang sama: belajar.
Kami perlu saling mendampingi!
Tak jarang, dalam banyak
hal, anak-anak inilah yang pertama kali memberikan contoh yang baik, bagaimana
pembina mesti bertindak sebagai manusia yang benar. Mereka banyak menciptakan
pertanyaan pemantik, yang olehnya para pembina dituntut untuk belajar dan terus
belajar setiap waktu.
Anak-anak ini kerap
melahirkan ide dan gagasan-gagasan cemerlang, yang olehnya para pembina
(pendamping) semakin mengerti, bahwa usia hanya menyoal angka semata. Ia
bukanlah tolok ukur utama untuk mengukur kepandaian dan kebijaksanaan seseorang.
Ada anak-anak yang
memiliki kedewasaan berpikir, melampaui cara berpikir orang dewasa umumnya.
Anak-anak yang berada di tempat ini pun sama. Mereka punya bekal kedewasaan
berpikir. Dan dari mereka jugalah, kami perlu belajar untuk berani merawat dan
menghidupi mimpi: bukan hidup dalam mimpi saja!
Penulis: Bayu Anse.